ASAL MULA NAMA DUSUN GUBUKRUBUH
Secara administratif, Dusun Gubukrubuh termasuk dalam wilayah Desa Getas, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Menurut cerita masyarakat tempat, asal-usul munculnya nama dusun ini berawal dari kisah pelarian seorang raja dari Kerajaan Majapahit. Siapakah raja Majapahit itu? Bagaimana kisah perjalanannya? Lalu, peristiwa apakah yang terjadi sehingga lahir Dusun Gubukrubuh? Simak kisahnya dalam cerita legenda Asal Mula Nama Dusun Gubukrubuh berikut ini!
* * *
Al kisah, pada zaman dahulu tersebutlah sebuah kerajaan besar bernama Kerajaan Majapahit. Ibu Kota kerajaan ini terletak di daerah Trowulan, Jawa Timur, Indonesia. Kerajaan Majapahit memiliki kekuasaan yang sangat luas, yakni membentang dari ujung utara Pulau Sumatra hingga Pulau Sumatra, Indonesia. Bahkan, wilayah kekuasaan kerajaan ini mencakup wilayah Malaka (Malaysia), Kamboja bagian selatan (sekarang Vietnam), dan Tiongkok.
Kerajaan Majapahit dipimpin oleh seorang raja bernama Raden Kertabumi yang bergelar Bhatara Wijaya V atau biasa dipanggil Brawijaya V. Brawijaya V adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit. Sebagai Raja yang besar, Raja Brawijaya V memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap raja-raja yang berada di negeri-negeri jajahannya. Oleh karena itulah, hampir setiap negeri jajahan tersebut senantiasa mengirimkan upeti, baik berupa perhiasan maupun hasil bumi, kepada Raja Brawijaya V sebagai tanda persahabatan. Bahkan, sebagian dari raja negeri-negeri taklukan tersebut ada yang menjadikan putri-putri tercantik mereka sebagai upeti sebagai persembahan kepada penguasa Kerajaan Majapahit. Tidak mengherankan jika Raja Brawijaya V memiliki banyak istri dan selir.
Suatu ketika, Kaisar Yan Lu dari Kekaisaran Tiongkok mengirim putrinya sebagai upeti untuk dipersembahan kepada Prabu Brawijaya V. Putri itu bernama Tan Eng Kian yang memiliki paras cantik. Persembahan upeti tersebut dimaksudkan untuk mempererat tali kekerabatan antara Kerajaan Majapahit dengan Kekaisaran Tiongkok. Prabu Brawija V pun menikahi Putri Tan Eng Kian dan hidup bahagia. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Rupanya, kehadiran Putri Tan Eng Kian kehadiran Putri Campa menimbulkan kecemburuan bagi istri dan selir Prabu Brawijaya yang lain, terutama Ratu Dewi Anarawati. Ratu Dewi Anarawati adalah seorang putri dari Kerajaan Champa yang dipersembahkan oleh Raja Champa kepada Prabu Brawijaya.
Suatu waktu, Ratu Dewi Anarawati memohon kepada Prabu Brawijaya agar Tan Eng Kian disingkirkan dari istana. Prabu Brawijaya pun mengambulkan permohonan itu. Dengan berat hati, sang Prabu terpaksa menghibahkan Putri Tan Eng Kian yang sedang mengandung itu kepada Arya Damar, Adipati Palembang yang berasal dari keturunan China muslim.
Adipati Arya Damar pun menerima hadiah itu dengan senang hati karena menerima pemberian hadiah seorang janda Raja Majapahit adalah suatu kehormatan. Setelah Putri Tan Eng Kian melahirkan, Arya Damar pun menikahi putri berdarah Cina itu. Anak yang lahir dari rahim Tan Eng Kian adalah seorang anak lelaki dan diberi nama Jin Bun atau dikenal juga dengan nama muslim Raden Hassan. Sementara itu, dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian, lahirlah juga seorang putra dan diberi nama Hussein.
Sejak kecil, Raden Hassan dan Raden Hussein dididik oleh Adipati Arya Damar dengan pendidikan islami. Menjelang dewasa, Raden Hassan memohon ijin kepada ibunya untuk menemui ayah kandungnya, Prabu Brawijaya, di tanah Jawa. Tan Eng Kian pun tidak bisa menghalangi keinginan putranya. Dari Palembang, Raden Hassan bersama saudara tirinya, Hussein bertolak ke Jawa.
Sampailah ia di pelabuhan Gresik yang ramai. Melihat keadaan Gresik yang hiruk-pikuk, Raden Hassan kagum. Dia bisa membayangkan bagaimana besarnya kekuasaan Majapahit. Melihat di Gresik banyak orang muslim, Raden Hassan tertarik dan memutuskan untuk berguru kepada Sunan Giri dalam rangka memperdalam ilum agama Islam.
Selang beberapa lama kemudian, Raden Hassan bersama Raden Hussein melanjutkan perjalanan ke Pesantren Ampel untuk berguru kepada Sunan Ampel. Ia pun disambut suka cita oleh Sunan Ampel dan diberi nama baru oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Abdul Fattah, kemudian dikenal oleh masyarakat Jawa dengan nama Raden Fatah.
Setelah merasa cukup memperdalam ilmu agama, keduanya melanjutkan perjalanan. Raden Hussein menuju Kerajaan Majapahit untuk mengabdi, namun dengan tetap menyembunyikan jatidirinya. Kecakapan Raden Hussein membuat karirnya di Kerajaan Majapahit melesat dengan cepat, hingga ia dipercaya untuk menjabat sebagai Adipati Terung.
Sementara itu, Raden Fatah pergi ke Jawa Tengah untuk membuka hutan dan membangun sebuah pesantren yang diberi nama Pesantren Glagahwangi. Atas kepemimpinannya, pesantren itu semakin lama semakin maju.
Suatu waktu, Raden Hussen yang telah menjadi Adipati Terung mengundang Raden Fatah ke kediamannya. Ia bermaksud mengajak kakak tirinya itu untuk menemui Prabu Brawijaya V di Kerajaan Majapahit.
“Kanda, Raden Fatah. Sebaiknya kita menemui ayahanda Kanda di Majapahit,” ujar Raden Kusen.
“Baiklah. Terima kasih atas kesediaan Adinda menemani Kanda. Kanda pun sudah tidak sabar ingin bertemu dengan beliau,” kata Raden Fatah.
Keesokan harinya, keduanya pun berangkat ke Kerajaan Majapahit. Setiba di sana, Raden Kusen langsung memperkenalkan Raden Fatah kepada Prabu Brawijaya V.
“Ampun, Baginda Prabu. Hamba menghadap bersama saudara tiri hamba, Raden Fatah,” ungkap Raden Kusen di hadapan Prabu Brawijaya V.
“Lalu, apa maksud kedatangan kalian ke sini?” tanya sang Prabu.
“Ampun, Baginda. Perlu Baginda ketahui bahwa Raden Fatah ini putra Baginda, sedangkan hamba sendiri adalah anak tiri sekaligus cucu Baginda,” aku Raden Kusen.
“Apa katamu?” kata Prabu Brawijaya tersentak kaget, “Hai, kalian jangan mengaku-ngaku sebagai putraku!”
“Benar. Saya ini putra Baginda,” sahut Raden Fatah.
Prabu Brawijaya pun semakin bingung. Ia merasa bahwa dirinya tidak mempunyai putra bernama Raden Fatah. Setelah Raden Fatah dan Raden Kusen menceritakan asal usul mereka bahwa mereka adalah anak dari Putri Campa, barulah Prabu Brawijaya mulai percaya.
“Tapi, bukankah ibunda kalian ada di Negeri Palembang? Bagaimana kalian bisa sampai ke sini?” tanya Prabu Brawijaya.
Raden Kusen dan Raden Fatah pun menceritakan kisah perjalanannya dari Palembang hingga tiba ke Jawa. Mendengar cerita itu, Prabu Brawijaya pun semakin percaya dan akhirnya mengakui Raden Fatah sebagai putranya. Raden Fatah pun diangkat menjadi Bupati Glagahwangi yang kemudian berganti nama menjadi Demak dengan ibukota di Bintara. Menurut cerita, Raden Fatah pindah dari Surabaya ke Demak sekitar tahun 1475.
Dengan dibantu pamannya, Pangeran Sabrang Lor, Raden Fatah mengembangkan Demak Bintoro menjadi pelabuhan dagang yang ramai. Dalam waktu singkat, para pedagang muslim dari Cina pun banyak yang menetap di daerah itu, terutama di daerah Semarang, Lasem, Juwana, dan Tuban. Dua tahun kemudian, Raden Fatah yang telah dinobatkan menjadi Sultan Demak menaklukkan Semarang yang termasuk wilayah bawahannya.
Mendengar kabar tersebut, Prabu Brawijaya V pun mulai khawatir kalau-kalau putranya itu akan memberontak. Ketika itu, Raden Fatah memang berniat untuk menyerang Kerajaan Majapahit dan mengislamkan ayahandanya beserta seluruh rakyatnya. Namun, ketika niat itu ia sampaikan kepada Sunan Ampel, sang Sunan justru menasehatinya.
“Jangan, Den! Sebaiknya Raden jangan memberontak pada Kerajaan Majapahit!” ujar Sunan Ampel kepada Raden Fatah., “Walaupun berbeda agama, Prabu Brawijaya tetaplah ayahanda Raden.”
Raden Fatah pun mengurungkan niat tersebut. Setelah Sunan Ampel meninggal dunia, Raden Fatah akhirnya menyerang Kerajaan Majapahit. Dalam serangan tersebut, Prabu Brawijaya V dan para pasukannya kalah. Oleh karena malu diajak masuk Islam oleh putranya, ia bersama sejumlah pengikutnya melarikan diri ke daerah barat hingga tiba di wilayah Gunungkidul yang terletak di bagian selatan Yogyakarta. Sang Prabu tidak berani melarikan diri ke utara karena daerah itu sudah dikuasai oleh tentara Demak dan di pantai utara Jawa telah dihuni oleh para pedagang muslim.
Raden Fatah yang mengetahui arah pelarian ayahandanya segera mengejar karena menginginkan sang Ayah masuk agama Islam. Sementara itu, Prabu Brawijaya V bersama pengikutnya yang sudah tiba di Gunungkidul terus menyusuri hutan berlantara. Suatu ketika, Prabu Brawijaya V bersama para pengikutnya berhenti di sebuah hutan lebat. Sang Prabu beristirahat di sebuah gubuk yang berada di tengah hutan itu.
Tanpa mereka sadari, ternyata Raden Fatah dan pasukannya juga sudah sampai di daerah itu. Ketika mereka sedang asyik beristirahat, tiba-tiba pasukan Raden Fatah datang menyergap. Akhirnya, pasukan Prabu Brawijaya V pun menyerah dan menjadi pengikut Raden Fatah. Sementara itu, Prabu Brawijaya bersama dua orang istri dan beberapa panglimanya berhasil meloloskan diri. Pasukan Prabu Brawijaya V yang tertangkap itu pun masuk agama Islam atas nasihat Raden Fatah. Di gubuk itu, mereka diajari cara melaksanakan shalat.
Sejak itulah, daerah tersebut diberi nama Dusun Gubukrubuh, yang diambil dari kata gubuk yaitu tempat mereka pertama kali melaksanakan shalat, dan kata rubuh yang berarti “runtuh” memiliki dua pengertian, yaitu pengertian secara fisik dan secara batin. Secara fisik, kata rubuh diartikan sebagai rubuhnya badan pada saat shalat dari posisi berdiri ke posisi rukuk, kemudian ke posisi sujud. Secara batin, rubuh diartikan runtuhnya iman atau keyakinan mereka dari keyakinan agama Hindu menjadi keyakinan agama Islam.
Sementara itu, Prabu Brawijaya V bersama kedua istrinya yang berhasil melarikan diri tiba di Pantai Selatan Gunungkidul. Di sana, mereka menemukan jalan buntu. Mereka tidak tahu harus berlari ke mana lagi. Jika kembali ke utara akan bertemu dengan pasukan Raden Fatah, mau lari ke arah selatan tapi terhalang oleh laut samudra. Sang Prabu pun merasa bahwa barangkali hidupnya hanya sampai di situ. Ia pun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan membakar diri hingga tewas karena seluruh tubuhnya kobong atau terbakar. Oleh masyarakat setempat, pantai tempat Prabu Brawijaya V membakar dirinya itu dinamakan Pantai Ngobaran, yang diambil dari kata kobar atau kobong.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Nama Dusun Gubukrubuh dari Yogyakarta. Menurut salah sesepuh Dusun Gubukrubuh, para ulama dan pemerintah setempat pernah berkeinginan untuk mengganti nama dusun ini menjadi “Sumber Mulyo”, namun masyarakat setempat menolaknya sehingga nama Gubukrubuh tetap dipakai sampai saat ini. Pendidikan agama Islam pun berkembang dengan pesat di dusun ini. Hingga kini, di Dusun Gubukrubuh terdapat lembaga pendidikan dari berbagai jenjang, yaitu mulai dari tingkat pendidikan PAUD, Taman Kanak-kanak, Madrasah Ibtida’iyyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, hingga Pondok Pesantren. Tidak mengherankan jika dusun ini menjadi kebanggaan Desa Getas karena satu-satunya desa di Gunungkidul yang seluruh penduduknya beragama Islam.
Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa betapa pun keinginan kita untuk memaksa seseorang berpindah keyakinan, kalau bukan orang itu sendiri yang menghendaki, maka hal itu tidak akan terjadi. Seperti halnya Raden Fatah, walaupun ia telah berusaha mengejar ayahnya hingga ke daerah Gunungkidul untuk diajak masuk Islam, namun sang Ayah lebih memilih bunuh diri daripada memenuhi ajakan putranya.
(Samsuni/sas/251/05-11)